Albert Camus & Eksistensialisme
Pohon! Camus telah wafat pada 5 Januari 1960. Namun, karya-karya dan pemikirannya sampai sekarang masih sering dibicarakan orang di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Tahun 2010 lalu, misalnya, novel Camus yang berjudul l’Etranger (1942) diterjemahkan oleh Revo Arka Giri Soekatno dari bahasa Prancis ke bahasa Jawa dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia dengan judul Wong Njaba. Sebelumnya, novel ini juga sudah diterjemahkan oleh Apsanti Djokosujatno ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Orang Asing dan diterbitkan oleh Penerbit Djambatan (1985). Dalam pengantarnya untuk novel Wong Njaba, penyair-esai-jurnalis-sutradara teater Goenawan Mohamad antara lain menulis “Albert Camus kuwi sakwijining pujangga Prancis sing linuwih ing sastra anggitan lan gagasan. Apik ing perkara ngroncé basa, limpad ing nglimbang budi lan pangerti. Mula mèh kabèh tulisané amot pamikir sing bisa kanggo nggagas perkaraning kauripan lan uga dadi sangu wawasan kanggo sapa baé sing dhemen nyatitèni tekdiring titah, lelakoning dumadi.”
Oleh sebagian kalangan, Camus dikenal sebagai seorang eksistensialis. Ada juga yang mengatakan sastrawan kelahiran Aljazair pada 7 November 1913 ini adalah seorang absurdis. Tapi, seperti kebanyakan orang, Camus sendiri tidak suka diberi label ina-inu, walau sebenarnya wajar saja jika orang mengatakan demikian untuk kepentingan kategorisasi.
Pasalnya, nama Camus kerap disandingkan dengan jajaran filsuf eksistesialis lain, seperti Sartre dan Merleau-Ponty. Ketika berpikir tentang eksistensialisme, orang sering pula membicarakan Camus. Begitu pula sebaliknya.
Apalagi, kaum eksistensialis pun mengakui karya-karya Camus yang memiliki beragam tema memang memiliki kecenderungan seperti itu. Karena itu, tak mengherankan jika orang yang tertarik dengan eksistensialisme kemudian juga tertarik kepada Albert Camus.
Namun, apa sebenarnya yang dipikirkan Camus mengenai pelabelan atas dirinya itu? Dan, bagaimana pula pendapat orang lain mengenai hal tersebut?
Seperti telah disinggung di atas, Camus sendiri tidak pernah menganggap dirinya adalah seorang eksistensialis. Begitu pula dengan Kierkegaard, Nietzsche, atau Heidegger. Jadi, apakah Camus memang seorang eksistensialis?
“Tidak. Saya bukan seorang eksistensialis. Sartre dan saya selalu terkejut melihat nama kami dihubungkan dengan hal itu. Kami bahkan sempat berpikir untuk menerbitkan pernyataan ringkas, lengkap dengan tanda tangan, yang menyatakan bahwa kami dan yang lain tidak memiliki kesamaan dan menolak untuk bertanggung jawab atas konsekuensi yang mungkin timbul dari pemberian label tersebut. Tapi, sebenarnya ini hanya lelucon. Sartre dan saya masing-masing menerbitkan buku tanpa kami pernah bertemu sebelumnya. Ketika kami tidak mengenal satu sama lain, itu mestinya disadari bahwa begitu banyak perbedaan kami. Sartre adalah seorang eksistensialis. Tapi, saya, hanya karena satu buku saya yang telah diterbitkan, The Myth of Sisyphus, langsung saya dikatakan sebagai filsuf eksistensialis,” ungkap Camus pada wawancara yang dimuat dalam Les Nouvelles Littéraires, 1945.
Lalu, apakah Albert Camus seorang absurdis?
“Kata ‘absurd’ memiliki suatu kisah yang tidak membahagiakan dan saya akui kata itu sekarang mengganggu saya. Ketika saya menganalisis ‘absurd’ dalam The Myth of Sisyphus, saya sedang mencari suatu metode, bukan suatu doktrin. Saya sedang mencoba keraguan metodis. Saya mencoba membuat sebuah ‘tabula rasa’ atas dasar bahwa hal itu kemudian akan menjadi mungkin untuk mengonstruksi sesuatu.Jika kita berasumsi bahwa tak ada apa pun yang bermakna, kita harus menyimpulkan bahwa dunia ini absurd. Tapi, apa benar tidak ada apa pun yang memiliki makna? Saya tidak pernah percaya kita akan tetap pada asumsi itu,” kata Camus kepada Gabriel d'Aubarède, yang dimuat dalam Les Nouvelles Littéraires, 1951.
Senangkah Camus dengan label yang dilekatkan pada dirinya itu?
“Seorang penulis menulis sesuatu agar tulisannya dibaca dengan jangkauan yang luar biasa (mari kita kagumi mereka yang mengatakan sebaliknya, tapi jangan percaya omongan mereka). Tapi, semakin banyak, di Prancis, penulis menulis untuk mendapat pentahbisan final, bukan untuk dibaca karyanya. Bahkan, sang ‘penulis’ dapat menyediakan bahan tentang dirinya untuk suatu artikel di media massa populer. Ada kemungkinan, si penulis akan dikenal oleh begitu banyak orang, yang tidak akan pernah bisa menjangkau si penulis, karena orang-orang itu sudah akan puas dengan hanya mengenal nama si penulis dan membaca apa yang orang tulis tentang diri si penulis. Dari titik ini, dia akan dikenal (dan dilupakan) bukan karena karyanya, tapi menurut gambaran seorang wartawan yang tergesa-gesa menuliskan tentang dirinya,” tutur Camus pada sebuah tulisannya yang dikumpulkan dalam buku Lyrical and Critical Essays (1970).
Camus sendiri merasa lelah diberi label sebagai “filsuf absurd” dan label-label lain. Justru, Camus mengklaim bahwa dia menulis The Myth of Sisyphus sebagai tantangan untuk kaum eksistensialis. Perlu juga diingat, dalam akhir wawancaranya yang dimuat dalam Les Nouvelles Littéraires, 1945, seperti telah diungkapkan di atas, Camus mengatakan tentang proyek masa depannya: “… mungkin saya sebaiknya menghias pikiran saya dengan mempelajari eksistensialisme.”
David E. Cooper, yang ahli eksistensialisme dan penulis buku Existentialism (1999), mengatakan: “… setidaknya ada seorang penulis yang sering dimasukkan namanya namun sesungguhnya tidak terdapat dalam daftar [eksistensialis]: Albert Camus. Satu alasan untuk tidak memasukkan Camus ke dalam daftar kaum eksistensialis adalah, tidak seperti penulis kita yang lain, bukanlah tujuan Camus untuk mengurangi atau mengatasi rasa keterasingan atau keterpisahan dari dunia. Pada sikap Meursault dalam novel l’Etranger, kita menemukan suatu kesenangan yang menantang yang diambil dalam kondisi keterasingan kita. Sisyphus, ‘hero absurd’ itu, merasakan suatu ‘kesenangan sunyi’ dalam kehidupan di sebuah dunia, tempat ‘seorang manusia merasakan sesuatu yang asing, orang asing… pengasingannya… tanpa ada obatnya. Camus ingin membalikkan diktum Merleau Ponty ke dalam ‘Dunia ini sepenuhnya berada di luar saya dan saya sepenuhnya berada dalam diri saya’. Selain itu, menurut pengakuannya atau bualannya sendiri, Camus tidak tertarik pada topik-topik filosofis yang berat, yang ditempati oleh teman-teman Paris-nya, Sartre dan Merleau Ponty—sifat kesadaran dan persepsi, hubungan pikiran-tubuh, masalah ‘pikiran yang lain’, dan sebagainya. Eksistensialisme, sebagaimana dibicarakan dalam buku ini, bukanlah suatu mood atau sebuah kosakata, tapi suatu filosofi sistematis relatif, yang topik-topik seperti itu di dalamnya memang sudah semestinya dibahas. Saya harus sedikit mengatakan tentang ini semua, seperti Camus, yang membuat sesuatu bernilai, baik sebagai filsuf maupun sebagai sistematika.”
Jadi, jelaslah, Cooper tidak akan mempertimbangkan Camus sebagai seorang eksistensialis. Sama jelasnya juga bahwa ia tidak pernah membaca karya-karya Camus sebagaimana mestinya ia lakukan. Sekarang kita lihat pandangan Eric Bonner, penulis Camus Portrait of a Moralist (1999).
“[The Stranger, l’Etranger] tidak pernah secara eksplisit menyangkal kebutuhan untuk suatu bentuk moral dari perilaku sosial, yang akan meningkatkan kepedulian Camus seiring bertambah usianya, tapi jelas menyoroti individualisme bohemian, yang tidak akan sepenuhnya dilepas oleh Camus sebagai penulis. Konflik di antara mereka tetap dan, sebagai konsekuensinya, Meursault menjadi tokoh teladan sekaligus pemberi nasihat. Banyak kritikus kerap melihat hal ini sebagai suatu kekurangan dan mungkin penolakan Camus untuk mengubah motivasi-motivasi dari karakter utama dalam novelnya itu—atau memperjelas keadaannya—menambah tingkat kesulitannya. Sekali lagi, hal itu tetap menjadi pertanyaan terbuka, baik itu sebagai kelemahan maupun sebagai kekuatan: sebuah penglepasan tanggung jawab atau pengakuan dari ambiguitas. Hubungan Camus dengan eksistensialisme diragukan: Camus tidak kurang dari kaum eksistensialis pada umumnya telah mempertimbangkan beberapa konflik antara niat subyektif serta penilaian filosofis obyektif yang tak teruraikan dan seluruh solusi universial yang secara inheren memang abstrak.”
John Cruickshank,ahli kesusastraan Prancis, dalam buku Albert Camus and the Literature of Revolt (1959) mengungkapkan, “Para pembaca dan kritikus sama-sama sering tergesa merumuskan beberapa label, dalam arti mereka dapat melakukan karakterisasi atau meringkas seorang penulis tulen, sehingga si penulis agak terganggu. Sekali rumus itu telah didapatkan, pekerjaan yang sebenarnya justru diabaikan. Camus pun menjadi sasaran proses pelabelan pada awal karirnya dan segera digeneralisasi sebagai seorang ‘filsuf absurd’. Dalam catatan awal ringkas untuk Le Mythe de Sisyphe, bagaimanapun, Camus menyatakan dengan jelas bahwa dia tidak sedang mengelaborasi suatu ‘filsafat absurd’, tapi sedang mendeskripsikan kepekaan absurd (sensibilite absurde)’. Camus menambahkan, sikapnya terhadap ‘absurd’ bersifat sementara. Kendati demikian, mayoritas pembacanya tidak memperhatikan pernyataan tersebut. Mereka terus menyamakan—dan kadang mempertentangkan—vairiasi-variasi gagasan yang ada di l’Etranger dan Caligula atau Le Malentendu, yang merupakan keyakinan pribadi Camus sendiri. Hasilnya: Camus tetap terkenal secara luas sebagai penulis l’Etranger dan Le Mythe de Sisyphe. Dia terus dideskripsikan sebagai penulis atau filsuf absurd. Kompleksitas sikapnya sendiri untuk pertanyaan tersebut, bersama dengan perkembangannya sejak tahun 1942, terlalu sering diabaikan.”
Jadi, apakah Albert Camus itu seorang ekstensialis atau absurdist? Label-label itu mungkin bisa memberitahu kita apa yang ada dalam karung, tapi tidak bisa membantu kita memahami apa isi karung itu sebenarnya.Label-label itu kerap terlalu menyederhanakan kontribusi seseorang. Jadi? Baca karya-karya Camus dan pahami sendiri apa yang ada di dalamnya.|Pedje/Sumber: www.camus-society.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar