Dari Presiden Badut sampai Pengkhianatan Kaum Cendekiawan

Dua anak muda itu meloncat ke dalam bus malam antar-kota, pukul 22.10. Yang satu lalu mengenakan topeng Batman dan mengeluarkan pistol. “Rojaaas…,” teriaknya di dalam bus sambil mengacungkan pistol. Para penumpang tersentak. Ada yang kaget. Ada yang bingung. Mungkin juga ada yang gentar mendengar teriakan lantang dan pistol yang diacungkan.

Pertunjukan teater pun bergulir di dalam bus. Hanya sebentar, memang, tak lebih dari 10 menit. Si pemakai topeng kemudian membuka topengnya, menyerahkan kepada kawannya, yang selanjutnya diasongkan ke para penumpang bus, untuk meminta apresiasi, uang receh atau syukur-syukur ada yang memberi lebih dari itu. Yang memakai topeng adalah Aldy Fortuner Emeraldy (begitulah namanya tertulis di Facebook), seorang aktor yang pernah menjuarai lomba monolog yang digelar Federasi Teater Indonesia, dengan lakon “Presiden Badut”, yang ia tulis sendiri. Kawannya bernama Sanwani Ari, beberapa kali tampil di layar kaca sebagai pemain ekstra di sinetron dan film televisi.

Teater jalanan memang bukan “barang” baru. Bahkan, “Sirkus Matahari” (Cirque du Soleil) yang tersohor itu berangkat dari teater jalanan. Topeng monyet juga teater jalanan. 

Jadi, teater bisa dimainkan di mana saja, mulai dari gang senggol sampai istana, termasuk istana tidak resmi kepresidenan negara kita, negara yang belakangan kerap disulap sebagai “negara teater”—suatu istilah yang diperkenalkan oleh Clifford Geertz (1981). Negara teater berbasis pada pengertian negara sebagai stateliness, yakni negara yang melakukan penguasaan dan penaklukan terhadap pihak-pihak tertentu, termasuk warganya, bukan dengan cara yang harfiah, tapi melalui simbol dan kemegahan. Juga lewat perayaan dan kebesaran sang penguasa. Ingatlah bagaimana akting presiden kita ketika melakukan rekrutmen menteri dan menanggapi wacana perombakan kabinet. Malah, tidak cukup dengan “alur linear”, proses rekrutmen itu pun dilengkapi dengan lika-liku yang menegangkan penonton, misalnya ada calon menteri yang sudah dipanggil ke Cikeas tapi kemudian tidak jadi diangkat sebagai menteri karena dianggap gagal menjalani tes kejiwaan. Belum lagi aside sang presiden tentang dirinya yang menjadi sasaran teroris dan belakangan merasa akan digulingkan.

Namun, rupanya, presiden kita gagap membaca zaman. Dia kira perhatian penonton akan tersedot sepenuhnya kepada dirinya sebagai sang penguasa—sehingga isu-isu negatif yang merongrong kepemimpinan dan partainya bisa diredam .Dia mungkin lupa, “panggung” teater sekarang bisa ada di mana-mana, termasuk di dunia maya. Orang bisa menggelar aksi teater di dalam bus seperti Aldy dan Ari. Juga bisa di Facebook, Twitter, Youtube, dan sebagainya.

Tentu saja, dengan banyaknya panggung teater sekarang ini bukan berarti panggung-panggung “peninggalan masa silam” menjadi bisa kita lupakan begitu saja, apalagi bila panggung itu memiliki sejarah panjang dan merupakan ruang publik yang penting. Misalnya Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Balai Budaya, yang keduanya berada di Jakarta. Kedua tempat ini memiliki nilai sejarah penting dalam perjalanan kesenian bangsa ini karena pernah disinggahi oleh banyak pekerja seni yang memiliki reputasi nasional dan internasional, yang gema karyanya masih dibicarakan sampai sekarang, seperti Bengkel Teater Rendra, Teater Ketjil, Teater Populer, Teater Lembaga, Teater Koma, Teater Mandiri, Teater Sae, dan Teater Kubur—sekadar mengambil contoh dari dunia teater.

Sayangnya, belakangan terjadi “privatisasi”—kalau tidak ingin mengatakan “manipulasi”—TIM sebagai ruang publik. Memang, sebagai ruang publik (dalam pengertian yang paling denotatif), siapa saja bisa melakukan pementasan di TIM. Tapi, kemudian, yang masuk golongan “siapa saja” ini umumnya pihak atau kelompok teater yang punya kemampuan finansial untuk menyewa gedung pertunjukan yang ada di TIM—yang harga sewanya bikin berdiri bulu roma para pekerja teater dari kelompok-kelompok amatir-kecil. Juga yang punya akses ke kalangan tertentu, entah itu kalangan pengusaha, orang kaya, atau birokrasi. Tak mengherankan jika, dalam kondisi seperti ini, yang mendominasi TIM adalah karya-karya yang menghamba kepada pasar, dengan penonton yang kebanyakan tanpa bekal sejarah—seperti disinyalir oleh Seno Joko Suyono, wartawan majalah Tempo, di tabloid Dramakala. Konsekuensi logisnya, ruang untuk melakukan terobosan-terobosan pada bentuk dan isi pertunjukan pun pada akhirnya menciut. Ketegangan antara “konvensi dan inovasi” dalam diri pekerja seni sebagai sumber kegelisahan untuk menghasilkan karya kreatif tak banyak lagi terproyeksikan pada pementasan-pementasan teater di TIM, sehingga yang muncul adalah karya-karya yang nyaris seragam.

Tentu saja, agar tetap kelihatan demokratis dan karena sudah telanjur ada sejak puluhan tahun silam, ruang bagi kelompok teater atau pekerja teater bermodal kecil dan berjaringan sangat terbatas untuk ikut menikmati TIM tetap disediakan, lewat jalur babak final Festival Teater Jakarta (FTJ). Lewat final FTJ, pekerja teater dari Jembatan Besi, Tomang Pulo, Tegal Alur, Kapuk, Lagoa, Kampung Melayu, Pasar Minggu, Senen, dll. yang berkantong cekak (bahkan untuk sekadar beli air minum selama proses latihan) bisa ikut menikmati TIM dan menjadi bagian dari perjalanan sejarah teater di Indonesia. Namun, beberapa tahun silam, babak final FTJ sempat terusir dari TIM. Dan, berkat perjuangan yang gigih dari banyak pekerja teater, babak final FTJ bisa dikembalikan ke TIM. Eh…, sayang sungguh sayang, babak final FTJ tahun 2011 lalu kembali digelar di luar TIM, padahal Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sudah sangat jauh-jauh hari merencanakannya di TIM.



Sebagai finalis FTJ tahun 2011, untuk menghormati nilai kebersejarahan TIM dan FTJ, termasuk menghormati perjuangan para pekerja teater yang gigih membawa kembali final FTJ ke TIM dan juga menghormati rencana kerja Komite Teater DKJ yang telah dibuat, Teater Pohon memutuskan mundur dari babak final FTJ 2011. Begitu juga Teater Gumilar. Kemunduran kedua teater ini sempat disalahpahami, bahkan oleh Komite Teater DKJ yang dibela oleh keduanya. Kesalahpahaman semakin menjadi ketika seolah urusannya hanya menyangkut soal pendanaan, sehingga kemudian ada pembagian uang Rp10 juta kepada masing-masing kelompok finalis FTJ yang bersedia melakukan pementasan di luar TIM. Toh, iming-iming Rp10 juta tak membuat Teater Pohon dan Teater Gumilar “goyah iman”. Bagi Teater Pohon, seniman adalah golongan cendekiawan dan cendekiawan haruslah menghormati dan menghargai nilai-nilai sejarah, membela nilai-nilai abadi dan tanpa pamrih, serta tidak menyerahkan diri mereka kepada golongan yang berkuasa (lihat: Julian Benda. 1997. Pengkhianatan Kaum Cendekiawan. Terjemahan Winarsih P. Arifin. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama- Forum Jakarta-Paris).

Selain TIM, situs budaya yang juga perlu segera mendapat perhatian adalah Balai Budaya, yang berada di Jalan Gereja Theresia 47, Jakarta Pusat. Gedung Balai Budaya kini dalam kondisi sangat memprihatinkan. Padahal, di gedung ini menyimpan jejak sejarah banyak seniman dan cendekiawan besar yang mewarnai jalannya republik ini, termasuk majalah sastra Horison. Selain sebagai tempat aktivitas kesenian, Balai Budaya juga sempat menjadi ruang perlawanan bagi kesewenang-wenangan rezim Soekarno dan Soeharto. Haruskah kita tangisi ketika gedung ini kelak di kemudian hari berubah menjadi pusat perbelanjaan, karena kita tak pernah mau peduli? Pedje

Tidak ada komentar:

© Teater Pohon. Diberdayakan oleh Blogger.