Persiapan Pementasan "Ruang Rias"
Pohon! Awalnya, Teater Pohon berencana menggarap suatu fase dalam kehidupan Hajah Rangkayo Rasuna Said untuk diangkat ke panggung pada akhir tahun 2012. Naskah sudah hampir jadi, dengan judul "Rasuna: Perempuan Hijau di Ranah Merah". Namun, kami kekurangan beberapa perempuan aktor yang bersedia terlibat ke dalam pementasan tersebut.
Seiring dengan itu, kami juga punya "beban" untuk kembali mengikuti perhelatan Dramakakala Fest 2013 yang diselenggarakan oleh tabloid teater Dramakala dan Asosiasi Pengajar Drama Indonesia pada bulan Februari 2013. Beban untuk ikut itu karena kami pada tahun 2012 dalam ajang tersebut meraih penghargaan untuk kategori pementasan terbaik, sutradara terbaik, dan aktor terbaik.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya kami memutuskan untuk menunda penggarapan lakon "Rasuna: Perempuan Hijau di Ranah Merah", walaupun kami secara informal telah diizinkan oleh seorang cucunya untuk mengangkat kisah Bunda Rasuna dan mendapat dukungan semangat dari Buya Syafi'i Ma'arif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah. Kami berharap lakon "Rasuna: Perempuan Hijau di Ranah Merah" bisa kami panggungkan di tahun 2013 juga.
Inilah foto-foto proses latihan "Ruang Rias".
“Ruang Rias” merupakan suatu lakon pendek yang mencoba menggambarkan bagaimana mitos-mitos kecantikan dan keindahan diproduksi, dikonstruksi, dan dieksploitasi, sehingga menimbulkan korban. Ironisnya, posisi sebagai korban itu kerap tidak disadari atau malah dinikmati dengan sukacita oleh korbannya. Caranya antara lain dengan penciptaan simulakra-simulakra, yakni yang secara garis besar dapat dikatakan sebagai suatu situasi dan kondisi ketika perbedaan yang nyata dan khayali sangat tipis atau sulit dikenali lagi, suatu konsep yang dipopulerkan kembali oleh filsuf dan sosiolog post-modern dari Prancis, Jean Baudrillard (1929-2007).
Belakangan ini, korbannya mencakup kaum perempuan dan laki-laki, bahkan kaum waria (shemale). Mereka rela mengalami rasa sakit secara fisik dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit asalkan bisa memiliki penampilan seperti mitos-mitos yang diembuskan itu.
Lakon ini mengisahkan Pandan, seorang waria yang mengalami kompleks rendah diri (inferioritas) namun memiliki keinginan untuk bisa tampil menawan. Namun, keinginan itu hanya berani ia wujudkan dalam angan-angan, bukan dalam kehidupan nyata.
Keinginan
Pandan tersebut diketahui oleh Bernadette, seorang make up artist. Maka, Bernadette pun menggunakan berbagai cara agar
Pandan mau memberanikan diri mewujudkan keinginannya untuk menjadi cantik.
Karena, menurut Bernadette, tampil cantik
dan menawan adalah suatu keniscayaan agar orang bisa masuk dalam
lingkaran pergaulan yang ia anggap terhormat, suatu lingkaran pergaulan yang
terdiri dari orang-orang yang sangat kaya, yang menentukan kriteria cantik dan
tidak cantiknya seseorang.
Pada
awalnya, Panda memang menolak mengikuti kemauan Bernadette. Namun, dengan
berbagai tekanan dan iming-iming, akhirnya Pandan pasrah saja dan bahkan
kemudian menikmatinya. Apalagi, Bernadette berhasil mengubah penampilan Pandan,
menjadi seperti yang diangankan Pandan.
Sayangnya,
di akhir cerita terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka dan tak diharapkan
oleh Bernadette. Peristiwa ini bisa dilihat sebagai metafora hilangnya
nilai-nilai kemanusiaan akibat eksploitasi yang dilakukan sesama manusia dan
juga sebagai gambaran atas merosotnya derajat manusia dari makhluk mulia
menjadi semacam barang atau benda, akibat terjebak dalam simulakra.
Pada
dasarnya, lakon “Ruang Rias” adalah lakon gugatan atas dominasi kaum pemilik
modal atas konsep kecantikan, ketampanan, dan keindahan di dalam masyarakat.
Namun, sasaran pementasan ini sendiri bukanlah kaum pemilik modal itu, tapi
masyarakat luas pada umumnya dan para penonton pertunjukan ini pada khususnya. Dengan
harapan, kesadaran kritis para penonton terhadap fenomena yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari bisa digugah.
Untuk
itu, bentuk pemanggungan yang dipilih adalah bentuk pemanggungan dengan
pendekatan realisme distortif. Artinya, bentuk pemanggungannya bersandar pada
bentuk pemanggungan lakon realis, namun pada beberapa aspek sengaja
didistorsikan, sehingga penonton tidak larut ke dalam ilusi panggung. Apa yang
terjadi di atas panggung masih akan dapat dikenali sebagai perpanjangan dari
realitas di luar panggung atau realitas keseharian, namun sekaligus juga pada
bagian-bagian tertentu akan terasa asing dan menuntut penonton untuk tidak
sekadar melihat dengan mata dan perasaan, tapi juga dengan kemampuan nalarnya
masing-masing. Pada akhirnya, pementasan ini memang diharapkan dapat menjadi
semacam dejavu bagi penonton: seakan
penonton pernah mengalami situasi yang sama sekaligus merasa asing dengan
situasi itu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar