Kisah Seorang Seniman Bernama Soemini

Bung Karno di Geograd, Yugoslavia, September 1961.
Foto: Time & Life Pictures
Pohon! Penyair besar Indonesia, Chairil Anwar, menulis sebuah puisi yang diberi judul “Perjanjian dengan Bung Karno”. Puisi itu dibuat pada tahun 1948 dalam suasana Perang Revolusi Kemerdekaan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia.

Dalam bait kedua puisi itu, Chairil menulis begini: “Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat/Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar/Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh//. Semangat puisi tersebut memang terasa menggelora, yang bisa ditafsirkan betapa Chairil telah menyatakan dirinya akan mengikuti setiap langkah Bung Karno. Di sisi lain, puisi itu juga bisa ditafsirkan sebagai pernyataan Chairil yang menyamakan dirinya dengan Bung Karno: sama-sama seorang seniman.

Ya, Bung Karno memang seorang seniman atau pekerja seni, selain negawaran dan Bapak Bangsa serta sejumlah predikat hebat lain. Putra sang Fajar bukan hanya penyuka atau pencinta seni pasif, tapi juga pelaku kesenian, terutama pada senirupa dan sastra.
Ketika membuat majalah Fikiran Ra’jat tahun 1930-an, Bung Karno bertindak sebagai penulis sekaligus ilustrator untuk majalah tersebut. Sebagai ilustrator, Bung Karno menggunakan nama samaran Soemini.

Meski yang ditulis di majalah itu bukan karya rekaan atau fiksi, melainkan pandangan dan analisis politiknya yang bersandar pada peristiwa yang sesungguhnya terjadi, bahasa yang digunakan Bung Karno bukanlah bahasa pamflet atau bahasa ilmiah yang kering. Bung Karno banyak menggunakan bahasa figuratif, yang tentu saja sasarannya bukan hanya aspek kognitif pembacanya, tapi juga aspek afektifnya. Yang disasar oleh Bung Karno bukan hanya “otak”, tapi juga “jiwa” pembacanya.

Begitu pula yang terjadi ketika Bung Karno berpidato. Ia bukan hanya piawai memukau pendengarnya lewat “penataan” bunyi dan warna suaranya, tapi juga lewat pemilihan kata dan rangkaian kalimatnya. Wajar jika kemudian banyak orang yang “tersihir” begitu mendengar Bung Karno berpidato, juga ketika membaca tulisan-tulisannya.

Soekarno memang seorang sastrawan, selain sebagai perupa. Ketika dibuang ke Ende (Nusa Tenggara Timur) dan Bengkulu, Bung Karno membentuk kelompok tonil atau sandiwara dan menulis sendiri lakon-lakon yang akan dipentaskan. Lakon-lakon yang ia tulis juga bukan sekadar untuk menghibur penontonnya ketika dipentaskan, tapi juga ditujukan untuk menggugah kesadaran mereka. Secara bentuk dan isi, lakon-lakon yang ditulis Bung Karno pun cenderung “memberontak” dari kelaziman lakon-lakon yang ditulis pada masanya. Bung Karno adalah pembaru penulisan lakon atau naskah teater di Indonesia.

Di Bengkulu, Bung Karno juga membuat perusahaan mebel atau furnitur yang diberi nama Mebel Soekamerindoe. Perusahaan tersebut didirikan bersama Haji Oei Tjeng Hien, tahun 1938, seperti dipaparkan Yuke Ardhiati dalam bukunya, Bung Karno sang Arsitek. Secara akademis, Bung Karno memang seorang ingenieur lulusan Technische Hooggeschool Bandoeng, yang kini bernama Institut Teknologi Bandung. Bung Karno resmi menyandang gelar insinyur pada 25 Mei 1925, dengan keahlian di bidang teknik jalan raya, konstruksi pelabuhan, dan pengairan. Juga perencanaan kota.

Namun, ia kemudian malah lebih dikenal sebagai arsitek. Hasil rancangannya mulai dari rumah tinggal sampai masjid. Bahkan, Bung Karno ikut pula merancang penjara Sukamiskin, Bandung, yang kelak malah menjadi “tempat persinggahan”-nya, yang dipenjarakan karena ide-ide dan perjuangannya dalam mengupayakan kemerdekaan Indonesia dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pihak Belanda juga mengakui kehebatan Bung Karno sebagai arsitek dan seniman. Seorang residen Belanda sempat meminta Bung Karno merancang monumen untuk memperingati serangan Jerman atas Belanda. Dan, seperti yang diceritakan seorang sahabatnya dan dikutip dalam buku karya Yuke Ardhiati, Bung Karno menampik permintaan itu.

“Maksud Tuan, setelah menguber-uber saya karena saya menghendaki kemerdekaan untuk rakyat saya, tiba-tiba sekarang meminta saya, sebagai tawanan Tuan, untuk membuat tugu karena bangsa lain merebut kemerdekaan negeri Tuan?” demikian respons Bung Karno.

Di Bengkulu itu, Bung Karno juga mendesain mebel-mebel yang akan dijual usaha dagang Mebel Soekamerindoe. Dan, mencipta desain mebel ini tetap dilakukan ketika Indonesia telah merdeka.
Piagam Pengangkatan Guru 
Muhammadiyah Bengkulu 
yang ditandatangani 
Bung Karno, 1941. 
Foto: Buku "Makin Lama Makin Tjinta".

Menurut Ir Rooseno, kawan sealmamater Bung Karno di Technische Hooggeschool Bandoeng, seperti dikutip Yuke, mebel-mebel yang ditempatkan di Istana Jakarta merupakan rancangan khusus Soekarno sendiri, yang dibantu oleh beberapa cabinetmaker, antara lain Chris Broekhuyzen, seniman kriya beraliran art deco dari Bandung. “Aku membuat sendiri rencana meja kantorku dari satu potong kayu jati Indonesia yang utuh. Aku merencanakan ruang makan negara dari satu potong kayu jati Indonesia. Aku menggantungkan setiap kain hiasan dinding, memilih setiap barang, merencanakan di mana harus diletakkan setiap pot bunga atau karya seni pahat,” tutur Bung Karno pada suatu kesempatan.

Diungkapkan Yuke, umumnya furnitur rancangan Bung Karno memiliki aksen berbentuk padma (teratai). “Selain itu, bentuknya langsing, ergonomis, serta berkesan body shape,” tulis Yuke.

Furnitur rancangan Soekarno yang ditemukan, tambah Yuke lagi, bergaya art deco dengan ciri khasnya, yaitu tradisionalis, individualis, dan modernis. “Akan tetapi, setelah dicermati ditemukan pula nuansa aliran romantisme, yaitu bercirikan bentuk geometris yang diwakili gaya interior Biedermeyer. Dengan demikian, dalam interior furnitur ‘padu padan’, gaya tetap menjadi frame rancangan Soekarno,” ungkap Yuke dalam bukunya. Sebagian furnitur yang dirancang Bung Karno sampai sekarang masih ada di Istana Negara (Jakarta), Istana Cipanas (Jawa Barat), Istana Bogor (Jawa Barat), Istana Batu Tulis-Bogor, Istana Tampak Siring-Bali, Hotel Indonesia, dan Hotel Samudra Beach (Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat).
“Secara genetik, Soekarno ini berdekatan dengan seni bukan secara kebetulan,” kata kritikus seni Merwan Yusuf dalam diskusi “Bung Karno dan Seni” pada tahun 2012 lampau. Darah Bali ibunya, menurut Merwan, mengalirkan darah seni kepada Soekarno. “Orang Bali itu dan agamanya sudah sebuah seni,” tuturnya.

Menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam diskusi itu juga, kecintaan pada seni turut memengaruhi gaya kepemimpinan Bung Karno. Misalnya, Bung Karno berperan penting dalam penentuan lambang negara. Desain pakaian-pakaiannya, terutama jas, banyak yang juga Bung Karno kerjakan sendiri.


Hal itu dibenarkan juga oleh politisi senior PDI Perjuangan, Emir Moeis. “Bahkan, pemilihan warna seragam Resimen Tjakrawabirawa dilakukan sendiri oleh Bung Karno. Selera seninya top,” tutur Emir. [Pedje]

Tidak ada komentar:

© Teater Pohon. Diberdayakan oleh Blogger.