Cinta Lagu Lama yang Bisa Bikin Tertawa
Pohon! Sebagai bagian dari
rangkaian acara Jakarta Anniversary Festival 2010, EKI Dance Company
mementaskan pertunjukan komedi musikal. Pertunjukan dibuka dengan sajian film
di tirai penutup panggung, berisi dokumentasi berbagai aspek kehidupan di Kota
Jakarta.
Foto: thejakartapost.com |
Adakah
adegan pembuka ini akan dibuat sedahsyat pertunjukan Opera Diponegoro karya Sardono W. Kusumo, yang dipentaskan beberapa
bulan sebelumnya—yang dalam versi agak berbeda pernah juga dipentaskan belasan
tahun silam?
Mungkin
meniru menjadi hal tabu bagi pekerja seni. Tapi, meniru adegan pembuka seperti
karya Sardono itu, dengan kualitas sama atau setidaknya hampir sama, tampaknya
bisa dimaklumi. Karena, secara teknis, adegan pembuka semacam itu bukanlah
perkara mudah, walaupun yang dipakai Sardono bukanlah media film, melainkan
lukisan (dua dimensi). Ia menggunakan reproduksi lukisan “Penangkapan Pangeran
Diponegoro (Capture of Pangeran
Diponegoro)” karya pelukis besar Indonesia, Raden Saleh Sjarif Boestaman.
Reproduksi lukisan yang dipakai Sardono itu berukuran 14 meter x 7 meter. Dan,
ketika lampu utama meredup, "lukisan" itu menjadi hidup, lalu
bergulirlah adegan demi adegan.
Namun,
rupanya, adegan pembuka pertunjukan komedi musikal Jakarta Love Riot tidak seperti itu. Adegan pembuka pertunjukan
yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta pada awal Juli 2010 lalu tersebut
sekadar menjadi "papan informasi" bahwa "inilah Jakarta".
Tirai itu pun kemudian tidak seolah-olah menghilang, tapi terangkat perlahan
untuk kemudian panggung menyajikan adegan selanjutnya: sekelompok anak muda
menari dan bernyanyi, dengan latar pusat perbelanjaan, lengkap dengan replika
eskalator dan papan-papan reklame.
Tak ada
sesuatu yang menyentak dan mengondisikan mental para penonton untuk memasuki
pengembaraan batin, sebagai upaya mendapatkan "pembersihan jiwa"
(katarsis). Dan, itu memang rasanya tak perlu kalau dilihat dari isi lakonnya
yang digarap dengan alur bersahaja dan dipenuhi dagelan, dengan komposisi dan
gerak tari yang tidak menyajikan kerumitan memukau (sophisticated). Sederhana saja.
Tapi,
barangkali, justru itulah yang menjadi salah kekuatan pertunjukan musikal
kesepuluh EKI Dance Company tersebut, yang kali ini disutradarai Rusdy
Rukmarata bersama Nanang Hape—yang selama ini dikenal sebagai dalang wayang
kulit. Pertunjukan ini benar-benar dapat menghibur penontonnya. Buktinya, para
penonton dibuat ger-geran di hampir
semua adegan, terutama ketika Arie Dagienkz yang memerankan tokoh Josh muncul.
Konflik yang mengambil persoalan cinta berbalut pertentangan kelas pun menjadi
tidak terasa berat. Cerita mengalir dengan mulus adegan demi adegan.
Kisahnya tentang sepasang remaja dari lapisan sosial berbeda yang menjalin hubungan asmara, Nala (Felicia Citraningtyas) dan Toto (Ari Prajanegara)--persoalan yang sudah ada sejak berabad lalu. Sudah dapat ditebak, orang tua dari remaja lapisan atas, orang tua Nala (yang diperankan dengan bagus oleh Sarah Sechan dan Yayu A.W. Unru) tidak menyetujui hubungan itu. Ibu Toto yang penjual soto kaki lima (diperankan Ira Duaty) ternyata juga tidak menyetujui anak lelakinya menjalin kasih dengan Nala. Alasan yang dikemukakan: sudah ada Tatik (Takako Leen), asisten ibu Toto dalam mengelola warung sotonya, yang terlebih dulu mencintai Toto dan telah akrab dengan Toto sejak kecil.
Konflik
diperlebar dengan sikap kelompok bermain Nala (Gank Rempong) dan Toto (Gank
Soto)—yang hampir rata-rata berwajah lebih tua daripada remaja umumnya dalam
realitas keseharian—yang juga tidak menyetujui hubungan itu. Benturan fisik di
antara kedua gank itu pun tak terhindarkan. Namun, akhirnya lakon ini pun
ditutup dengan kisah bahagia: Nala dan Toto tetap bersama.
Soal
Gank Rempong dan Gank Soto itu, seperti halnya Nala dan Toto, sebenarnya mereka
adalah dua kelompok remaja dengan status sosial yang berbeda. Gank Rempong
berasal dari golongan atas dan Gank Soto dari kalangan menengah bawah. Namun,
seperti halnya dalam dunia nyata di Jakarta dan banyak kota besar lainnya di
Indonesia, mereka secara kasat mata sama saja. Tingkah polah mereka hampir
sama, termasuk dalam penggunaan bahasa, gerak tubuh, dan sebagian pada cara
berpakaian mereka. Nyaris seragam. Dan, itu diimitasi cukup baik dalam
pertunjukan ini.
Yang
juga membuat pertunjukan ini enak diikuti, penggarapan musik yang dilakukan Oni
Krisnerwinto lumayan apik. Bahkan, boleh dibilang, musiklah yang benar-benar
menghidupkan pertunjukan ini, sesuai dengan tujuannya sebagai lakon komedi “musikal”.
Pilihan jenis musik yang dilakukan Oni juga terasa pas dengan atmosfer yang
ingin dibangun di banyak adegan. Juga mampu menutupi kekurangan beberapa pemain
ketika harus bernyanyi, sehingga tetap enak diterima telinga.
Bagi
yang mengikuti berbagai pertunjukan yang dibuat EKI Dance Company sebelumnya
mungkin akan merasa Jakarta Love Riot
agak berbeda. Lebih "renyah". “Kami memang sengaja membuat
pertunjukan ini menjadi lebih ringan, untuk menarik generasi baru penonton
pertunjukan EKI Dance Company, terutama dari kalangan remaja,” ungkap Rusdy
Rukmarata, jebolah Jurusan Sastra Indonesia Universitas Indonesia, seusai
pertunjukan di hari kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar