Pertunjukan yang Hanya untuk Dilihat, Bukan Dinikmati
Pohon! Gamelan berdentang-berdentang
ketika matahari akan mencapai titik kulminasinya. Serombongan penari dengan
pakaian hitam dan bermahkota bulu seperti kepala suku Indian mulai beraksi. Lalu
ramai suara gemerincing, ketika para penari itu mengentakkan kaki-kaki mereka,
yang berbalut sepatu boot hitam.
Puluhan
penonton pun mendekat. Juru foto sibuk mengabadikan tarian itu dari berbagai
penjuru.
Siang
itu, 11 November 2007, di alun-alun Puro Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, digelar
pesta kesenian rakyat. Selain tari Topeng
Ireng Dayakan yang dibawakan Paguyuban Seni Jalan Krido Mulo asal Boyolali
tersebut, juga digelar bermacam kesenian rakyat Solo dan sekitarnya. Inilah
bagian dari puncak upacara peringatan 250 Tahun Puro Mangkunegaran, yang telah
berlangsung sejak Maret 2007.
Sayangnya,
entah kenapa, pada siang itu, sebagian besar warga Solo seakan tak tahu ada
perhelatan besar tersebut. Setidaknya ini bisa dilihat dari jumlah masyarakat
yang datang untuk menyaksikan acara yang dimaksudkan sebagai pesta rakyat itu.
Masyarakat mulai ramai mendatangi alun-alun Puro Mangkunegaran menjelang sore
hari, ketika rombongan kirab masuk keraton, setelah mengelilingi Kota Solo.
Itu pun
relatif tak lama. Karena, ketika sore tiba, mega mendung menutupi langit dan
angin kencang menderu-deru. Pohon-pohon bergoyang ke sana-kemari. Hujan deras
tiba. Sebagian besar pengunjung meninggalkan arena, entah ke mana.
Seusai
magrib, hujan mereda, meski tak berhenti sama sekali. Gerimis menyiram, namun
tak menyurutkan para undangan untuk menghadiri pergelaran sendratari kolosal
Adeging Praja Mangkunegaran yang akan digelar di halaman dalam dan pendapa Puro
Mangkunegaran. Jalan-jalan di Solo yang dekat puro itu pun mengalami kemacetan.
Pertunjukan
tersebut disutradarai seniman Solo yang juga menjadi pengajar di Institut Seni
Solo, Daryono. Dan sekitar 2.000 undangan hadir pada malam itu, yang bukan
hanya berasal dari Solo, tapi juga dari daerah-daerah lain di Indonesia. Tampak
di sana antara lain Prof. Dr. Toety Herati Noerhadi, Soetrisno Bachir, Goenawan
Mohamad, Guruh Soekarno Putra, Poppy Dharsono, Harmoko, dan Dewi Motik.
Ini
memang perhelatan besar. Harga tanda masuk untuk bisa menonton pertunjukan itu
pun dipatok Rp 300 ribu sampai Rp 6 juta. Untuk masyarakat yang tak mampu
membeli tiket, di alun-alun puro disediakan layar raksasa yang menayangkan
pementasan di halaman dalam dan pendapa puro.
”Selain
untuk mengenang kepahlawanan Raden Mas Said atau Mangkunegara I, acara ini juga
dimaksudkan sebagai ajang silaturahmi, memperkenalkan khazanah budaya yang ada
di Mangkunegaran, dan untuk menggalang dana dari berbagai kalangan masyarakat
yang peduli budaya bangsa, yang hasilnya nanti digunakan untuk merenovasi
bangunan Puro Mangkunegaran,” ungkap Ir. Agus Haryo Sudarmodjo, Ketua Dewan
Pelaksana Harian Peringatan 250 Tahun Puro Mangkunegaran.
Secara
resmi, Puro Mangkunegaran berdiri setelah diadakan Perjanjian Salatiga pada 17
Maret 1757, yang dilakukan antara Raden Mas Said dan Sunan Paku Buwono III atas
permintaannya sendiri, dengan saksi utusan Sultan Hamengkubuwono I dan pihak
VOC Belanda. Raden Mas Said hengkang dari Keraton Kartasura karena keraton yang
dipimpin Paku Buwono II itu ia anggap telah mengkhianati rakyat, dengan
membiarkan VOC Belanda ikut campur terlalu jauh dalam kekuasaan. Raden Mas Said
beserta 18 abdi dalem setianya kemudian memilih bergabung dengan orang-orang
Cina di bawah pimpinan Sunan Kuning atau R.M. Garendi, yang melakukan
pemberontakan terhadap VOC Belanda dan kekuasaan Paku Buwono II.
Lebih
dari 16 tahun Raden Mas Said bergerilya dan melanglang ke 111 desa yang ada di
wilayah Gunung Kidul, Wonogiri, Sukoharjo, dan Karanganyar. Perlawanan
dilakukan dan lebih dari 250 kali peperangan terjadi antara pasukan Raden Mas
Said melawan pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Tiga di antaranya yang
paling dahsyat adalah pertempuran melawan pasukan Mangkubumi atau Sultan
Hamengkubuwono I di Desa Kasatriyan, sebelah barat daya Ponorogo, Jawa Timur,
tahun 1752. Perang besar kedua terjadi pada tahun 1756, melawan dua detasemen
VOC Belanda di bawah pimpinan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah
selatan Rembang, tepatnya di Hutan Sitakepyak, Jawa Tengah. Perang besar ketiga
terjadi ketika Raden Mas Said dan pasukannya menyerbu Benteng Vre Deburg
Belanda dan Keraton Yogya-Mataram, tahun 1757.
Yang
mengagumkan, seperti diakui VOC, Raden Mas Said atau kelak bergelar
Mangkunegara I merupakan raja Jawa pertama yang melibatkan kaum perempuan
sebagai bagian dari pasukan perangnya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa
Baron van Hohendorff memuji kehebatan Raden Mas Said, yang dijuluki juga sebagai
Pangeran Sambernyawa karena dianggap musuh-musuhnya sebagai ”sang penyebar
maut”.
”Pangeran
yang satu ini sudah sejak muda terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan,
sehingga tidak mau dibujuk untuk bergabung dengan Belanda; dan keterampilan
perangnya itu diperoleh selama pengembaraannya di daerah pedalaman,” kata
Hohendorff, seperti dikutip dari buku acara.
Peperangan
terpaksa diakhiri setelah Paku Buwono III mengajak Raden Mas Said berunding,
yang kemudian melahirkan Perjanjian Salatiga 1757. Dalam perjanjian ini
disepakati, Raden Mas Said mendapatkan hak mendirikan dan memimpin sebuah
istana dari sebuah kadipaten. Bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Sri
Mangkunegoro I, Raden Mas Said lalu membangun wilayah kekuasaannya di sebelah
barat tepi Kali Pepe, tempat yang ia pilih sendiri.
”Karena
itu, lewat momentum 250 tahun Puro Mangkunegaran, kami ingin membangkitkan
kembali spirit perjuangan Raden Mas Said yang luar biasa, agar bisa dipelajari
oleh generasi sekarang dan seterusnya. Raden Mas Said itu seorang ahli perang,
politisi, ekonom, agamawan, dan negarawan hebat,” ungkap Ir. Agus Haryo
Sudarmodjo.
Dan,
hampir sebagian besar adegan pertunjukan Adeging Praja Mangkunegaran pada malam
itu diisi dengan penggambaran perjuangan Raden Mas Said atau Pangeran
Sambernyawa. ”Pementasan ini melibatkan sekitar 400 orang pemain, yang terdiri
dari penari Soeryosumirat, dari Institut Seni Indonesia, Wayang Orang
Sriwedari, Wayang Orang RRI, dan berbagai elemen masyarakat, termasuk
masyarakat dari etnis Cina. Lewat penggarapan pementasan ini kami ingin
meneruskan keteladan Raden Mas Said yang merangkul seluruh lapisan masyarakat
serta ingin mengungkapkan bahwa pemimpin itu mestinya seperti itu dan harus
didukung oleh rakyat,” ujar Daryono, sang sutradara, ketika ditemui sebelum
pertunjukan.
Konsep
pergelarannya sendiri, tambah Daryono, adalah upaya memahami ruang yang ada di
Puro Mangkunegaran, baik ruang secara fisik maupun ruang metafisika, seperti
perjalanan sejarah, yang bersifat proses. ”Dari sana kami lalu memilih
sudut-sudut pandang dan materi yang cocok untuk menggambarkannya,” kata pria
yang pernah menyutradarai pertunjukan Mahakarya
Borobudur ini.
Pertunjukan
dibuka dengan adegan pemberontakan yang dilakukan laskar Cina yang dipimpin
Sunan Kuning. Suasana kacau pun tercipta di halaman Puro Mangkunegaran. Setelah
itu masuklah seorang lelaki gagah dengan segenap pasukannya dan kemudian
bertempur dengan pasukan VOC Belanda, yang disokong prajurit dari Bugis, Bali,
dan Mataram. Pasukan Belanda kocar-kacir.
Adegan
peperangan terus terjadi, sampai akhirnya berhenti ketika tiga orang laki-laki
berdiri di tengah kolam. Rupanya, itulah visualisasi dari Perjanjian Salatiga.
Sesudahnya muncul iringan-iringan dan penonton pun seakan tak percaya bahwa
mereka melihat gajah berjalan perlahan di depan rombongan itu. “Dalam
sejarahnya, gajah tak pernah digunakan oleh Raden Mas Said dalam perjuangannya.
Gajah itu dipakai dalam pementasan ini sebagai simbolisasi dari keagungan dan
kebesaran Raden Mas Said, yang sedang menjalani proses jumenengan, yang diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo
Sri Mangkunegoro I,” ungkap Daryono.
Pertunjukan
lalu beralih ke pendapa. Tari bedaya digelar, diikuti dengan tari-tarian lain,
seperti fragmen tari topeng dengan lakon Panji
Sekartaji, tari langendriyan dengan cerita Menak Jingga Lena, dan pertunjukan wayang orang. Dari sana adegan
bergeser kembali ke halaman sampai akhirnya masuk adegan nebu sauyun, yakni pembacaan maklumat oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara
IX, yang kini memimpin Puro Mangkunegaran.
Dalam
maklumat itu ditekankan pentingnya kesatuan dari seluruh anak bangsa dan
pernyataan mengenai eksistensi Mangkunegara. ”Inti dari adegan nebu sauyun itu adalah mengumpulkan
seluruh trah yang ada di Mangkunegaran, yang notebene sampai sekarang masih
suka kurang akur. Selain itu, maklumat ini juga dimaksudkan sebagai pernyataan
bahwa Mangkunegaran tidaklah eksklusif,” kata Daryono.
Apa
pun, pergelaran sedratari kolosol yang berlangsung sekitar dua setengah jam itu
terasa sangat panjang dan cenderung membosankan. Terlalu banyak peristiwa yang
ingin ditunjukkan dalam potongan-potongan adegan yang sulit diidentifikasi
perbedaannya oleh penonton. ”Saya tidak bisa menikmati. Banyak sekali yang
ditunjukkan. Tapi, memang mungkin maksudnya bukan untuk dinikmati, tapi untuk
dilihat saja. Jadi, kalau kita mengharapakan suatu pertunjukan seni yang
memuaskan, ya, mungkin tidak bisa. Khalayak kan datang ke sini untuk merayakan
250 tahun Mangkunegaran,” ujar budayawan Goenawan Mohamad.
Sementara
itu, Guruh Soekarno Putra berpendapat, pertunjukan seperti itu bermanfaat untuk
memperkenalkan kebudayaan Indonesia, khususnya kebudyaaan Jawa. ”Sayangnya,
penataan tempat duduknya membut penonton kurang bisa menyaksikan pertunjukan
dengan nyaman,” ungkap Guruh. | Pedje
Tidak ada komentar:
Posting Komentar