Yang Terbebani dan yang Berkehendak Bebas

Pohon! Bapak Seni Rupa Baru Indonesia, Sindudarsono Sudjojono, pada tahun 1940-an “mendefinisikan” seni sebagai jiwa ketok atau jiwa yang terlihat, yang tampak. “Kalau seorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan,” ujar Sudjojono dalam sebuah kesempatan, menjelaskan istilah jiwa ketok itu. Di belahan bumi yang lain, penari dan koreografer asal Amerika Serikat yang pengaruhnya mendunia, Martha Graham, mengatakan bahwa tari adalah bahasa tersembunyi dari jiwa.

Belum ditemukan catatan yang menyatakan keduanya pernah bertemu, walau hidup “sezaman” (Sudjojono lahir pada tahun 1913 dan wafat tahun 1986; Martha Graham lahir pada tahun 1894 dan wafat pada tahun 1991). Pendapat mereka secara sepintas juga terkesan berbeda. Namun, pada dasarnya, keduanya bisa dikatakan memiliki pandangan yang sama. Kata kuncinya adalah jiwa. Kesenian itu berangkat dari jiwa, baik itu seni lukis, tari, seni suara, sastra, maupun seni grafis yang cenderung menjadi seni terapan.

Dalam pernyataan aslinya, Martha Graham menyebut jiwa itu dengan soul, bukan psyche atau psych. Mungkin yang dimaksud oleh Sudjojono juga begitu. Meski pengertian keduanya secara etimologis bisa dipertukarkan, soul dan psyche punya medan makna berbeda seiring dengan hadirnya pengertian baru, setidaknya sejak abad ke-20. Ringkasnya:  psyche cenderung ke arah masa silam dan hasil refleksinya juga tak begitu jauh bergeser dari masa silam; sementara soul merupakan jenis lain dari visi, yang daya jelajahnya bisa menembus masa depan, di samping punya kemampuan untuk menyelami masa silam juga. Persamaan keduanya lagi antara lain sama-sama menyimpan misteri bawah sadar yang tidak dapat atau setidaknya sulit dimengerti oleh alam sadar kita.

Namun, tidak ada keharusan karya seni menjadi perpanjangan dari soul. Sah-sah saja jika karya seni menjadi perwujudan dari psyche. Dari pengalaman selama ini, karya seni yang merupakan hasil dari olah psyche cenderung terkesan muram  dan “menekan”,  mungkin karena bandul lebih memberat ke masa silam—dan biasanya yang diambil dari masa silam adalah yang menyimpan “drama” atau tragedi, walaupun bisa saja komedi. Sebaliknya, karya seni yang merupakan hasil dari pergumulan soul relatif menyenangkan, karena mengembuskan harapan dan penghiburan, tanpa terpeleset menjadi sesuatu yang banal atau sekadar menjadi lelucon dangkal.

Barangkali agak jelas perbedaan dua pengertian itu kalau kita mengamati lukisan dan drawing karya Sudjojono dengan karya Semsar Siahaan, yang bisa dibilang punya kesamaan “ideologi”. Juga lukisan karya Djoko Pekik dan Hendra Gunawan.

Secara kualitas, baik seni yang dari psyche maupun yang dari soul, keduanya bisa sama bagusnya atau sama jeleknya. Karena, pada akhirnya, seni memang bukan semata “apa yang diucapkan”, tapi juga menekankan pentingnya “bagaimana mengucapkan” sesuatu. Dengan pemahaman seperti ini, persoalan kejelasan atau kelancaran “komunikasi” menjadi hal yang sekunder bagi karya seni. Yang primer, yang utama, adalah proses komunikasinya itu, cara penyampaiannya: indah atau tidak, inspiratif atau hanya informatif, menjadi “cerita” atau sekadar berita.

Dalam pertunjukan A Triple Bill Dance Performance yang dibawakan Kreativität Dance Indonesia, semua itu tergambarkan. Sesuai judulnya, ada tiga nomor tari dalam pementasan yang berlangsung pada 7 & 8 September 2012, yang menjadi bagian dari Festival Schouwburg X Gedung Kesenian Jakarta. Nomor pertama yang diberi tajuk “Memorabilia”, digarap oleh Yudistira Syuman; “Tok” oleh sang ibunda, Farida Oetoyo, dan; “Dan Ada Sebuah Kotak…” oleh Gerard Mosterd dari Belanda, yang awal Juni 2012 menangani “Histoire du Soldat” di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, dalam rangkaian Indonesia Dance Festival—yang setahun sebelumnya juga dipentaskan di beberapa kota di Jawa.

“Memorabilia” terdiri dari tiga fragmen: “Mother Love”; “Desire”, dan; “As It Is”. Dalam nomor ini terasa sekali apa yang hadir di panggung merupakan pantulan dari psyche, bukan soul. Bukan saja karena judulnya memang mengacu ke masa lalu, tapi bentuk pertunjukannya sendiri bertumpu pada gerakan-gerakan balet dan “formulaik”, termasuk dalam membuat garis imajiner di atas panggung, sehingga atmosfer yang muncul terasa “menekan” karena penonton tak diberi ruang untuk ikut menari-nari juga dengan tafsirnya. Yang hadir di atas panggung adalah sesuatu yang sudah terberi, kompak. Penonton silakan menikmati saja apa yang tersaji. Pada akhirnya, hampir seluruh gerakan yang ada tak lebih semacam upaya menerjemahkan judul teks dengan bahasa tubuh, yang sebenarnya terikat konvensi.

Sungguhpun begitu, “Memorabilia” juga tak bisa dimasukkan ke dalam kategori (balet) klasik, karena hanya beberapa perbendaharaan gerak balet yang dihadirkan. Dari sini kemudian semakin teraba intensi Yudistira sebagai koreografer: ia hanya ingin penonton bertamasya ke masa silam lewat “Memoribilia”, bukan menjelajahi sisi-sisi gelapnya, apalagi mengangkat ke permukaan bahasa tersembunyi dari soul, seperti diungkapkan Marta Graham itu. Pilihan tiga lagu jazz dari tiga perempuan penyanyi jazz kelas dunia—Stacey Kent, Shirley Horn, dan Ella Fitzgerald—semakin mengentalkan impresi tersebut. Manis, tapi membuat kita terperangkap di masa lalu.

Ini berbeda dengan “Tok” yang digarap oleh Farida Oetoyo. Seperti tertulis dalam buku acara, “Tok” pernah pula dipentaskan pada tahun 1976, ketika usia Farida belum lagi genap 40 tahun. Soul banyak bekerja pada nomor ini, yang gelisah mencari nilai-nilai filosofis dari kain adati, kain yang kehadirannya dalam fase-fase penting kehidupan masyarakat Nusantara umumnya, terutama Jawa, hampir menjadi keniscayaan, seperti terekam dalam macapat: mijil (lahir), sinom (muda), asmarandana (masa berhubungan asmara), dan seterusnya.

Meski dikreasi oleh seorang maestro balet Indonesia, “Tok” tak membatasi diri hanya pada gerakan balet semata, tapi juga berdialog dengan gerakan tari lokal dan juga gerakan silat. Kain-kain adati yang dikenakan para penari menjadi hidup, menjadi gerakan tari sendiri yang mengajak penonton untuk terlibat dalam proses penafsiran. Lihatlah bagaimana kain-kain itu “menarikan” fase mijil: dengan bagian pinggang ke bawah diikat kain yang menjulur panjang ke depan, para penari sedikit bergoyang dalam posisi grand plie, maka kemudian kain panjang itu bergerak membentuk gelombang.

Asosiasi yang hadir pun bermacam-macam, bukan sekadar menggambarkan proses kelahiran, tapi bisa ditafsirkan sebagai gambaran dari dunia yang terus bergerak dan dipenuhi gelombang pasang naik dan pasang surut. Asosiasi-asosiasi yang hadir di benak penonton inilah yang menjadi penanda bagi kehadiran bahasa tersembunyi dari soul: tari—dalam pengertian Martha Graham.

Lalu, apakah koreografi yang lahir atas dorongan psyche tidak bisa disebut tari? Tentu saja harus segera dijawab bahwa tak ada yang mutlak dalam dunia seni. Karena, seni bertumpu pada jiwa manusia dan psyche adalah jiwa manusia juga. Kalau soul adalah jiwa yang didominasi oleh kehendak bebas manusia (free will), psyche adalah jiwa yang terbebani oleh kepingan-kepingan masa silam, baik yang positif maupun yang negatif.


Penjelajahan keduanya juga bisa sama panjangnya. Soul bisa terus bergerak mengejar masa depan, walau tak jarang harus menerobos pagar; sementara psyche bisa menyelam ke palung-palung terdalam masa silam, yang entah di mana pula batasya. Dan, dunia seni tari seperti halnya dunia seni rupa, menyediakan kemungkinan yang luas untuk melakukan hal-hal itu, karena “kuasa bahasa” masih belum mengintervensi terlalu jauh. Tinggal lagi bagaimana koreografer dan penari bersama-sama mau membuka diri untuk melakukan kerja penafsiran yang sungguh-sungguh dan terus mencari berbagai kemungkinan gerak untuk mengonkretkan penafsiran yang ada,

Itulah yang terlihat pada pertunjukan “Tok” karya Farida Oetoyo dan juga pada “Dan Ada Sebuah Kotak…” karya Gerard Mosterd. Pada “Dan Ada Sebuah Kotak…”, soul dibiarkan bekerja leluasa menemukan sesuatu, bukan untuk menciptakan sesuatu, seperti menjadi “manifesto” Kreativität Dance Indonesia. Gerard Mosterd membuka koreografinya dengan menunjukkan seorang yang berada di dalam sebuah kotak, seakan ia ingin menunjukkan “ada sebuah kotak berisi manusia”. Terlihat biasa?

Tunggu dulu! Manusia di dalam kotak itu bukan sedang berdiri atau duduk tenang, tapi dalam posisi meringkuk. Asosiasi pun bermunculan: itulah potret manusia yang tak bisa atau tak mau keluar dari kungkungan (kotak) nilai-nilai; gambaran otak manusia (kalau dilihat dari samping) yang sedang tak berdaya; bisa pula dilihat sebagai kondisi traumatis manusia yang mencekam. Kotak berisi manusia kemudian menghilang dari panggung, dengan ditutupi oleh partisi. Penjelajahan pun dimulai.

Begitu banyak variasi gerak yang hadir, mulai dari kaki sampai kepala penari, bahkan juga jari, di panggung “Dan Ada Sebuah Kotak…”. Asosiasi pun tumpang-tindih, kadang malah tidak ada sama sekali, sehingga menghadirkan ruang kosong yang misterius. Biarpun begitu, yang terjadi adalah dinamika bentuk, bukan kekacauan.

Ada gerak yang mengasosiasikan kerbergejolakan pemikiran manusia, keterkungkungan, keterimpitan, upaya pemberontakan, dan konflik di dalam benak manusia. Lalu, begitu partisi-partisi di latar belakang digeser, sehingga membentuk ruang atau semacam lorong atau seperti pintu, gerak-gerak lain bermunculan. Ada yang melenggang, bermesraan, dolanan, bergembira bersama, bermain bayang-bayang, dan ada juga yang berjoget ala trio perempuan penyanyi dangdut yang diiringi lagu klasik. Riuh dalam gerak yang beragam dan ada pula yang seragam, yang tak sepenuhnya bisa dipahami tapi cukup sugestif untuk. mengajak penonton mencari kemungkinan gerak yang berbeda dari yang dilakukan para penari.

Lalu, apa bahasa tersembunyi dari  soul-nya? Boleh jadi mengenai tak bisanya pemikiran, gagasan, imajinasi, dan apa pun yang ada dalam benak manusia dipenjarakan, walau si empunya pemikiran dan sebagainya itu secara fisik dibui, ditindas, dimatikan. Tapi, bisa juga tentang ketakberhinggaan cakrawala pemikiran. Mungkin juga suatu afirmasi dari ungkapan pengusaha wiski Thomas Dewar yang terkenal itu: “pikiran itu seperti parasut, baru berguna bila terbuka”.


Puisi Goenawan Mohamad tentang kemerdekaan, yang dilantunkan seorang penari, bagaikan memberi garis bawah pada kemungkinan-kemungkinan yang bisa muncul pada pembacaan bahasa yang tersembunyi itu. Dalam kemerdekaan tak ada makna absolut. Silakan cari kemungkinan lain. Bukankah kebebasan itu yang diinginkan manusia modern—walau tetap menyimpan paradoks juga? Menyenangkan, tapi tetap mengajak kita untuk merenungkan sesuatu. Inilah hiburan dengan “H” kapital.[Pedje, Sutradara Teater Pohon]

Tidak ada komentar:

© Teater Pohon. Diberdayakan oleh Blogger.